Sungai, Sarang Budaya Masyarakat Melayu

Illustrasi Sungai sebagai sarng budaya Masyarakat Melayu
MAHASISWARIAU.ID - Sungai bagi masyarakat Melayu Riau memang tidak bisa dipisahkan, sungai menjadi nadi kehidupan  dan dahulu dia menjadi laman bermain bagi masyarakat Melayu. Sekarang sungai luluh lantak oleh berbagai kepentingan dan keserakahan manusia, akibatnya bermacam kebudayaan yang ada dan tumbuh di sungai itu akhirnya tergerus bersama waktu. Berikut petikan wawancara wartawan Riau Pos, Gema Setara bersama budayawan yang juga Tim Peneliti Ekspedisi Kebudayaan Empat Sungai di Riau, Elmustian Rahman. 


Bagaimana masyarakat Melayu menempatkan sungai dalam kehidupannya?

Sungai atau disebut juga dengan istilah “batang” bagi masyarakat Melayu  tempat berlangsungnya berbagai-bagai inisiasi budaya Melayu. Kita sebut saja dengan perahu Baganduang dan menjemput limau di hulu Kuantan, proses merendam anak-anak sebelum bersunat dengan berbagai-bagai gendang beregung, 

Aktivitas ekonomi seperti mengambil batu pasir dan sumber protein mencari pelbagai jenis ikan. Di beberapa rantau sungai dijadikan tempat peristiwa adat memanen ikan sekali setahun. Istilah rantau itu bermakna ruas sungai yang lurus. Ikan yang dipanen tesebut dipelihara di Sungai Larangan dan Danau Larangan. 

Ada empat  sungai besar di Riau, di keempat sungai itu, selain berlangsung peristiwa dari satu  identitas ke identitas lain, dan peristiwa adat istiadat masyarakat Melayu, juga berdiri pelbagai kerajaan besar dan kerajaan kuno nusantara. Di Sungai Kuantan dan atau sungai Inderagiri, berdiri kerajaan yang paling tua sebelum masehi yang bernama Kandis. Kemudian berdiri Kerajaan Keritang yang berlanjut dengan kerajaan Inderagiri. 

Suku-suku proto Malay (Melayu tua) juga melakukan istiadat ritual kepercayaan mereka di sungai dan anak-anak sungai. Mereka hidup di tepi sungai, seperti Suku Sakai dan Utan di tebing Sungai Siak, suku Bonai di Rokan, Suku Laut atau Duanu di muara sungai Inderagiri. Petalangan di Kampar, Talang Mamak di Sungai Inderagiri.

Dalam saujana (landskap) alam Melayu, dikenal arah mata angin purba masyarakat Melayu disebut Darat, Baruh, Hulu dan Hilir. Dalam pemikiran masyarakat Melayu seperti itu sungai sebagai sentral kehidupan masyarakat Melayu. Berbagai-bagai mitos “sengaja” ditanamkan pada arus sungai tersebut.  

Pelabuhan atau pelantar di sepanjang sungai di Batang Kuantan, menjadi semacam pusat silaturahmi masyarakat,  karena proses awal inisiasi adat perkahwinan masyarakat Melayu dimulai di air, ketika ibu-ibu yang ditakdirkan senang berbual-bual menjodohkan anak kemenakannya.

Berdasarkan pemikiran seperti itu, maka sungai sebagai wilayah bermain masyarakat. Sungai sebagai sarang budaya masyarakat Melayu. 

Bagaimana masyarakat Melayu menjaga sungai agar tidak terganggu oleh berbagai-bagai keadaan?

Masyarakat Melayu menjaga sungai dalam berbagai-bagai kearifan lokal, seperti yang terdapat dalam tunjuk ajar Melayu yang dinukilkan oleh pak Tenas Efenddy, apabila suku tak berhutan tanah samalah artinya bagai orang dagang yang hidup menumpang di rimba orang bernaung di suak sungai orang menanti belas kasihan orang menunggu ladang dan belukar orang.

 Akibat banyaknya PETI di  Batang  Kuantan, Kuantan Singingi mengancam sejumlah kebudayaan masyarakat setempat, apa komentar Anda terkait hal ini?

Penambangan emas illegal (PETI) di Batang Kuantan dan sungai Inderagiri sangat memprihatinkan, merusak tatanan masyarakat. Dalam pengamatan saya sudah menjadi gurita, di Kecamataan Peranap dan Batang Peranap bahkan sudah bekerja sama dengan oknum SPBU di Peranap. Berbagai-bagai pedagang  mendistribusikannya ke ponton atau dompeng, mesin pengeruk batu pasir pengurai emas.  

Dalam perspektif adat istiadat PETI ini menjadi malapetaka keberlangsungan inisiasi kebudayaan Melayu di sepanjang sungai seperti yang sudah saya jelaskan di atas.

Nilai-nilai kebenaran dalam masyarakat sudah ikut berpengaruh rusak. Mereka sudah pada tingkat pemahaman yang salah kaprah. Ketika dijelaskan bagaimana pendistribusian yang salah tersebut berakibat pada ekonomi biaya tinggi, banyak tokoh masyarakat yang diam, bahkan sebaliknya mendukung SPBU yang menjual kepada pembeli eceran.

Persoalan sungai bukan hanya didominasi PETI tetapi juga sikap pemerintah kita. Belum ada skenario besar dari pemerintah kabupaten/ kota hingga pemerintah pusat. Pemerintah DKI saja di depan hidung pemerintah pusat masih terseok-seok mengelola sungai.

Kerugian apa yang paling besar dari tercemarnya kawasan sungai?

Tercemarnya perairan sungai apakah akan bisa menghilangkan berbagai-bagai macam kebudayaan yang ada di kawasan-kawasan tersebut. Kerugian itu di antaranya,  hilangnya  ekosistem dasar sungai. Berbagai-bagai jenis kura-kura yang bertelur di pasir pulau dan menjadi sumber protein masyarakat hingga tahun 1980-an menjadi masa lalu masyarakat.  Dulu ada musim ikan mudik, patin mudik, tapah mudik di Sungai Inderagiri, saat ini sudah tidak ada lagi. 

Berbagai-bagai keluhan masyarakat yang disampaikan antara lain gejala gatal-gatal akibat pemakaian mercury (logam berat) dan ini bisa berpengaruh kepada ibu hamil dan sperma bagi laki-laki usia produktif bagi yang mengkonsumsi air yang tercemar air raksa tersebut. Meski ini opini masyarakat, namun akan lebih baik menjadi penggesa bagi para akademisi untuk menelitinya. Universitas harus turun tangan secepatnya.  Selain itu, ancaman krisis air.  

Selain krisis air, juga malapetaka sewaktu-waktu debit curah hujan lebih banyak atau tengkujuh  akan ada banjir bandang. Tengkujuh atau banjir bandang ini akan sering terjadi karena dasar sungai sudah tidak merata oleh mesin PETI. Saat ini, tidak akan ada siapa pun yang bisa menghentikan PETI, termasuk pihak kepolisian, kecuali hati nurani.

Bagaimana sebaiknya pemerintah bersikap terkait maraknya PETI? 

Pemerintah kita labil. Dulu  dibuatkan master plan Riau 2020, membangun Riau dengan menjadikan sungai sebagai episentrum. Tetapi gubernur berikutnya sudah dibuang entah ke mana rencana induk tersebut.

Pemerintah kita mesti meniru Jepang yang meski pembangunannya tidak berkilblat ke sungai, tetapi sungai dijadikan wilayah “suci” mereka. Masyarakatnya menghormati sungai dengan tidak dijadikan sebagai tempat pelimbahan.

Bisakah kebudayaan yang hilang itu dibangkitkan kembali?  

Kebudayaan yang lama tidak bisa. Namun bisa representasi baru, dalam bentuk baru. 

Apa saran-saran Anda kepada pemerintah daerah dan masyarakat tempatan?

Menyusun skenario besar mengembalikan atau memulangkan adat istiadat kepada tempatnya yang asli. Memulangkan semangat dan ruh kebudayaan Melayu. Terutama struktur pranata adat dibicarakan lebih lanjut. Riau punya prospek untuk itu karena Undang-undang desa yang baru disusun oleh pemerintah pusat. 

Tim Ekspedisi Kebudayaan empat  sungai di Riau sudah menyusun skenario struktur pranata adat tersebut di Tiga Lorong, Indragiri Hulu. Kecamatan Peranap dan Batang Peranap mesti dipecahkan menjadi tiga kecamatan sesuai dengan Penghulu Tiga Lorong yang sudah berlangsung sejak abad ke-17 hingga abad 20. 

Keturunan “tunas di mata” mesti di sekolah secara profesional dan diangkat menjadi camat. “Orang Sarak” dan “Orang Adat” menjadi perangkat penting kecamatan yang menghidupkan adat dan agama Islam. Ini bisa menjadi acuan memulangkan adat istiadat.

source: riaupos.co
settia